Prakata
(
Jika Anda pernah membaca artikel saya sebelumnya mengenai Iklan Penurunan BBM Demokrat dan Fakta-Fakta Tersembunyi Pemerintah SBY-JK Jilid 1 dan Jilid 2, maka silahkan langsung membaca Pendahuluan Utang artikel ini)
******
Awalnya saya sudah enggan menulis
fakta-fakta yang akan memojokkan iklan Partai Demokrat dan juga materi
kampanye Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Pak SBY selaku Presiden RI
2004-2009. Bagaimanapun juga, Pak SBY adalah presiden terpilih pada
Pilpres 2004 dengan suara lebih 60%, sehingga kita sebagai warga negara
memiliki kewajiban menghargai seorang kepala negara sekaligus kepala
pemerintah Republik Indonesia. Namun, saya pun berharap bahwa SBY selaku
Presiden hendaknya fair dan objektif dalam menyampaikan informasi ke
publik. Jangan karena memiliki jabatan dan sekaligus kekuasaan demi
partai, maka dengan enteng menyodorkan data-data yang membuat opini
publik ling-lung alias “bodoh atas fakta”.
Dalam tulisan ini, saya akan membongkar fakta kebijakan Presiden (bukan pribadi presiden tapi kebijakan) dan juga kampanye SBY selaku orang partai (bukan presiden)
yang jika kita mengetahuinya data yang sesungguhnya, maka kita akan
bingung dengan statement para politisi Demokrat maupun Pak SBY (SBY selaku Ketua Dewan Pembina Demokrat, bukan sosok Presiden).
Maka, sebagai warga negara kita patut berpartisipasi dalam menegakkan
hal-hal (data) yang benar. Dan jangan sampai seorang Presiden RI kembali
memiliki tabiat buruk dalam menyampaikan data dan fakta pemerintahan
dengan mengatasnamakan kepentingan partai dan citra. Jangan sampai suatu
saat (10 tahun mendatang), rakyat menge’cap mantan presiden kita
merupakan seorang lihai dalam bersilat lidah alias pembohong politik.
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka saya ingin penguasa negeri ini (
terutama politisi Demokrat)
agar lebih bermoral dalam menyampaikan iklan politik. Sindiran dan
kata-kata halus tampaknya tidak dapat dimengerti dengan mudah oleh para
politisi Demokrat yang katanya cerdas. Sehingga sayapun telah menulis
berbagai tulisan kritik atas iklan-iklan Demokrat yang cenderung
manipulatif secara opini-data. Beberapa tulisan keprihatinan saya adalah
Iklan Penurunan BBM SBY
dan Demokrat yang Busuk secara informasi data pada pertengahan Desember
2008. Lalu iklan Demokrat tentang prestasi “naik-turun” yang memenuhi
berbagai media saya sanggah melalui berbagai fakta tersembunyi dalam dua
bagian yakni
Fakta-Fakta Tersembunyi Pemerintahan SBY-JK (1), dan
Fakta-Fakta Tersembunyi Pemerintah SBY-JK (2).
Dua bagian tulisan terakhir berisi tentang fakta-fakta pertumbuhan
ekonomi, tingkat inflasi, jumlah angka kemiskinan, harga minyak, harga
kebutuhan pokok, stabilitas nilai tukar rupiah, dan privatisasi ala
“SBY-JK”.
Disamping itu, tulisan ini juga kritik
saya bagi semua parpol dan para capres yang lebih banyak berjanji ria,
ketimbang memiliki visi dan misi yang jelas bagi penyelamatan negeri,
melakukan tindakan nyata. Bukan mengeluarkan puluhan hingga ratusan
miliar rupiah dengan iklan-iklan yang tidak mendidik.
******
Pendahuluan Utang
Banyak orang memiliki pandangan bahwa selama pemerintah SBY yang didukung Demokrat (seperti iklannya)
bahwa jumlah utang Indonesia berkurang. Tidak sedikit beberapa
pengunjung blog saya meninggalkan komentar dengan mengatakan SBY dan Sri
Mulyani berhasil mengurangi utang Indonesia. Begitu juga iklan-iklan
Demokrat yang dengan bangga menampilkan Indonesia berhasil keluar dari
utang IMF. Hal senada ketika kampanye partai Demokrat 2009, SBY
mengklaim ia berhasil mengurangi utang (IMF). Namun, benarkah utang kita
berkurang? Benarkah utang luar negeri sudah lunas? Benarkah pemerintah
saat ini bebas dari mental pengutang? Benarkah SBY-JK menyelesaikan
tugasnya dengan jumlah utang negara berkurang?
Semua pertanyaan tersebut akan terjawab
dengan jelas. Namun, sayang media jarang menyampaikan fakta-fakta
perkembangan utang Indonesia selama pemerintah SBY yang didukung terus
Demokrat (mendukung utang? mendukung kapitalis?).
SBY Tambah Utang Indonesia dari 1275 menjadi 1667 Trilun dalam 4 Tahun
Saya kurang tahu, apakah
kader-kader Demokrat tidak pernah mengakses data Dirjen Pengelolaan Utang – Departemen
Keuangan RI yang secara jelas merilis jumlah utang Indonesia sejak 2001 hingga 2009 (www.dmo.or.id).
Dan bagi simpatisan “fanatik” partai Demokrat, maka saya anjurkan untuk
mengakses data utang negara Indonesia. Setelah itu, survei kronologis
harga minyak dunia dengan harga premium. Lalu, survei kronologi
seberapa kapitalis Indonesia dengan program privatisasi
perusahaan-perusahaan BUMN strategis, kebijakan Bencana Lumpur Lapindo
yang merugikan negara hingga 2 triliun lebih (melalui Perpres).
Berikut jumlah total utang Indonesia (2001-2009)
- 2001 : Rp 1263 triliun
- 2002 : Rp 1249 triliun
- 2003 : Rp 1240 triliun
- 2004 : Rp 1275 triliun
- 2005 : Rp 1268 triliun
- 2006 : Rp 1310 triliun
- 2007 : Rp 1387 triliun
- 2008 : Rp 1623 triliun
- 2009 : Rp 1667 triliun (Januari)
Perkembangan Utang Dalam Negeri Indonesia 2004-2009
- 2004 : Rp 662 triliun
- 2005 : Rp 656 triliun
- 2006 : Rp 748 triliun
- 2007 : Rp 801 triliun
- 2008 : Rp 906 triliun
- 2009 : Rp 920 triliun
Cat: Utang dalam negeri berbentuk Surat Utang Negara termasuk surat utang berbentuk syari’ah
Dari data utang Indonesia di atas, maka ada beberapa fakta yang perlu ditelaah:
- Pemerintah SBY “berhasil” membawa Indonesia kembali menjadi negara
pengutang dengan kenaikan 392 triliun dalam kurun waktu kurang 5 tahun.
Atau peningkatan utang negara selama pemerintah SBY naik rata-rata 80
triliun per tahun. Angka penambahan jumlah utang rata-rata ini
mengalahkan utang di era Pak Harto yakni 1500 triliun dalam jangka 32
tahun.
- Selama 3,5 tahun memimpin Indonesia, Megawati menambah jumlah utang
Indonesia sebesar Rp 12 triliun atau rata-rata naik sekitar Rp 4 triliun
per tahun. Angka ini jauh lebih kecil dibanding SBY yakni 80 T per
tahun.
- Mental (secara kuantitatif) berutang pemerintah SBY 20 kali lebih besar (80 T dibagi 4 T) dibanding pemerintah Megawati.
- Menjelang Pemilu, jumlah utang Indonesia memiliki trend naik.
Anggaran negara akan naik secara signifikan disertai defisit yang besar.
Anggaran besar umumnya untuk program-program menarik simpati masyarakat
seperti peningkatan anggaran sosial dan kesehatan menjelang pemilu,
BLT, dan sejenisnya.
- Meskipun utang luar negeri tidak mengalami kenaikan signifikan,
namun utang dalam negeri bertambah signifikan. Selama Indonesia merdeka,
baru di pemerintah SBY utang dalam negeri naik 50% dalam jangka waktu 4
tahun (600-an triliun menjadi 900-an triliun)
- Siapakah yang akan membayar utang tersebut?? :
Generasi Mendatang dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang ketika Pak SBY
telah tidak menjabat sebagai Presiden! Hal ini tidak jauh berbeda
dengan era Soeharto yang meninggalkan segudang utang luar negeri, namun
di era SBY, beliau meninggalkan utang dalam negeri yang fantastis. Dalam
waktu 5-10 mendatang, setidak-tidaknya pemerintahan di tahun 2014-2024
akan menganggarkan puluhan triliun dana APBN tiap tahunnya untuk
menutup utang + bunga yang dilakukan pemerintah SBY selama 2004-2009
ini. Kapankah ini berakhir? Lihatlah bagaimana Indonesia kembali
terbilit hutang sejak pemerintahan Megawati [klik sini untuk info lanjut]
- Secara analisis finansial umum (bukan utang ala Word Bank), maka penilaian utang ditentukan oleh definisi Debt to Foreign Exchange Rate ratio atau Ratio Utang/Devisa. Pada tahun 2004, ratio utang terhadap devisa Indonesia adalah sebesar Rp 1275 T / 331 T = 3,85. Sedangkan pada tahun 2008, ratio utang terhadap devisa Indonesia adalah Rp 1667 T / 552 T = 3.01.
Angka 3 masihlah tinggi jika dibanding rasio utang/devisa China yakni
hanya USD 363 M / 1946 M = 0.186. Dan salah satu mengapa ekonomi
Thailand cukup stabil meskipun terjadi perang politik adalah rasio
utang/devisa cukup kecil yakni USD 59M/114M = 0.52 disamping struktur
ekonomi “klaster UKM“nya yang kuat.
Katakan Tidak Pada : Utang
Sebagai salah satu tolak ukur
keberhasilan pemerintah adalah mengolah anggaran negara dengan efisien
dan efektif seraya meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi rakyat. Sudah
seyogianya, jika anggaran belanja naik, berarti jumlah program kerja
meningkat, dan tentu saja pendapatan atau pemasukan negara harus naik.
Jika kita mengikuti UU APBN dari tahun 2004 hingga 2009, anggaran APBN
cenderung didesain defisit sehingga untuk menutup “lebih besar pasak
daripada tiang” adalah utang baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Selama
4 tahun memerintah,
utang luar negeri hanya turun 3 triliun, namun utang dalam negeri
(surat utang negara) meningkat drastis mencapai tiga ratus triliun.
Yang aneh bin ajaib lagi, peningkatan
APBN yang disertai pembengkakan jumlah utang negara rupanya tidak
mengurangi angka kemiskinan rakyat. Jika di tahun 2004, jumlah penduduk
miskin sebesar 36 juta jiwa, maka hingga Maret 2008 jumlah penduduk
miskin masih diangka 35 juta jiwa (
bahkan peneliti UI memperkirakan 40 juta penduduk miskin pada Desember 2008
). Hah….Anggaran bertambah, kesejateraan tidak bertambah dan jumlah
penduduk miskin tidak berkurang. Ini berarti pemerintah gagal mengelola
anggaran (APBN) dengan efisien dan efektif. Masyarakat miskin tetap
miskin, namun pemilik pemodal (orang kaya) tampaknya semakin kaya
termasuk pejabat negara dan anggota dewan. Mau bukti anggaran yang tidak
efisien, silakan mengakses data audit anggaran APBN oleh BPK. Tulisan
senada saya rilis di :
Jangan Mempolitisasi Anggaran Pendidikan 20%,
yang salah isinya adalah inefisiensi serta penyalahan pengunaan
anggaran pendidikan oleh Departemen Pendidikan Nasional (khusus audit
tahun anggaran 2007). Dan satu lagi, rupanya utang yang besar
diakibatkan
pemerintah SBY tetap membayar utang najis yang ditinggalkan pemerintahan Soeharto dan Megawati.
Selain itu, besarnya
utang negara
yang dilakukan oleh SBY yang terus didukung (fanatisme?) Demokrat,
memiliki arti bahwa pengelolaan ekonomi negara belum berhasil. Amerika
saat ini memiliki utang yang maha dashyat, karena Amerika diambang
kehancuran. Dan di tahun 2006 hingga 2009, utang dalam negeri Indonesia
juga meningkat secara signifikan, maka ini mengindentifikasi keamanan
ekonomi negara dibawah pemerintah SBY masih sangat kropos. Bagaimana
pemimpin memimpin 230 juta rakyat, jika mental utang saat ini masih
menjadi salah satu inti kebijakannya? Dan sebagian besar rakyat
Indonesia, tidak mengetahui hal-hal ini. Mereka terbuai dengan iklan
subjekif Partai Demokrat. Korupsi dana Capres 2004 tidak pernah diusut.
Korupsi kebijakan Lapindo melalui
Per.Pres
14 tahun 2007 menyengsarakan rakyat sunyi bak ditelan bumi. Korupsi
kebijakan suspensi saham Bakrie dan royalti batubara akhirnya menjadi
intrik terbesar SBY-JK-Ical pun tidak pernah tercium lagi. Dan masih
banyak lagi. Belum lagi UU BHP yang hanya mengakomodasi 20% penduduk
miskin ke perguruan tinggi, padahal jumlah penduduk miskin (standar 2
USD) mencapai 50% atau 100 juta. Jika, disebutkan satu persatu….maka
dampak negatif kebijakan-kebijakan tersebut akan mulai terasa dalam
jangka 5-10 tahun mendatang. Kembali, masyarakat miskinlah yang paling
merasakan dampaknya.
Mengapa Katakan Tidak Pada : Utang
Kebijakan utang bukanlah hal yang buruk jika kebijakan utang dilakukan karena urgensi yang tinggi atau menjadi prorgam short term policy
atas memburuknya perekonomian bangsa. Dalam konteks ini, maka
seharusnya kebijakan utang tidak menjadi program tahunan. Jangan setiap
tahun anggaran APBN selalu berisi utang dan utang lagi. Jangan membuat
negara ini menjadi negara yang tidak lepas dari utang setiap tahunnya.
Dan jangan menambah besaran utang lagi. Mengapa?
Selama utang masih menjadi mental dan
paradigma pemerintah, maka masyarakat Indonesia tidak akan luput dari
kelaparan dan kesengsaraan ekonomi akibat utang yang baru akan terasa
pasca 10-20 tahun mendatang (mirip kasus utang orba). Masih
jelas dalam sejarah Indonesia, bagaimana utang menjerat Indonesia
menjadi negara terkorup, utang membawa Indonesia menjadi “budak” asing
dan kapitalis, dan utang menjadi senjata penguasaan aset-aset sumber
daya alam strategis oleh asing dan pemilik modal. Tidak bisa dipungkiri
bahwa Indonesia menjadi sasaran empuk bagi negara kapitalis dalam
masalah hutang, hal ini berbeda dengan perlakuan yang diterima oleh
negara-negara sesama kapitalis. Misalnya Amerika membantu Jepang.
Sesaat setelah Soekarno digulingkan, dan
dimulainya masa era Soeharto (1967) yang didukung penuh oleh IMF, World
Bank, ADB, USAID, CGI, maka Indonesia masuk dalam penjajahan
neokolonialsme. Bahkan praktek neokolonialisme dilakukan oleh
teknokrat jebolan University of California Berkeley (dikenal sebagai Mafia Berkeley)
di Amerika yang memegang kebijakan ekonomi dalam pemerintahan
Orde Baru. Dalam mengawal arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia,
lembaga-lembaga Bank tersebut secara ekspilisit memberi arahan yang
dieksekusi dengan baik oleh Mafia Berkeley dalam penyusunan
Undang-undang dan peraturan pemerintah yang menguntungkan kepentingan
lembaga/negara pemberi utang tersebut. Dan parahnya, hal ini masih
terjadi hingga saat ini (dalam beberapa Undang Undang misalnya migas, batubara, subsidi BBM, komersialisasi pendidikan).
Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan asing dan pemodal
(kapitalis) memiliki prioritas istimewa dimata pemimpin/presiden
ketimbang kepentingan rakyat dan bangsa.
Selain itu, utang bukanlah tanpa bunga.
Selama ini, tiap tahun negara harus menganggarkan triliunan rupiah untuk
membayar bunga utang yang dihasilkan oleh pemerintahan Soeharto. Selain
bunga, kita juga harus membayar cicilan utang yang besarnya hampir sama
bahkan lebih kecil dibanding bunga utang-nya. Jika pemerintah saat ini
gencar melakukan utang, maka di pemerintahan akan datang, negara kembali
disengsarakan dengan cicilan bunga utang yang besar disertai cicilan
utang. Lagi-lagi, rakyatlah yang harus menanggung bunga utang beserta
cicilannya. Anggaran besar tersedot hanya untuk utang dan bunganya,
sedangkan dana untuk pengembangan industri UKM, kesehatan masyarakat,
dan penghidupan layak menjadi terkatung-katung.
Dan salah satu poin utama adalah ketika
pemerintahan Megawati “keliru” menjual saham-saham strategis seperti
Indosat, Telkom, dan Bank-Bank yang memiliki Obligasi Rekap (Utang),
SBY-JK kembali melakukan “kekeliruan” dengan tetap membayar ratusan
triliun rupiah obligasi rekap (utang) yang sama sekali tidak dirasakan
oleh rakyat. Untuk ulasan lengkapnya, silahkan lihat di :
SBY atau Mega : Capres Bermental Korup, Bodoh atau Penakut?
Tantangan : Utang Asing dan Kapitalis SUN
Liberalisasi kebijakan ekonomi bangsa ini
telah masuk dimasa yang sangat memprihatinkan. Program-progam
privatisasi industri strategis, dan penguasaan sumber daya alam oleh
asing serta pemilik modal (kapitalis) telah menguasai hak hidup rakyat
yang dikemudian hari akan mengakibatkan penderitaan dan kemiskinan
jangaka panjang. Tantangan bangsa Indonesia saat ini bukan saja lembaga
asing yang memberi utang luar negeri, namun para pemilik modal yang
menguasai aset-aset strategis negara termasuk pemilik inti surat utang
negara. Jika dimasa orde baru, para kapital asing mendapat kursi VIP,
namun kini kapitalis lokal telah mendapat kursi VIP juga dari
pemerintah.
Dan bila pemilik modal terlalu besar
menguasai sektor-sektor publik, maka konspirasi pemilik modal akan
mempengaruhi ketahanan negara dalam berbagai aspek baik ekonomi,
keamanan maupun kebijakan politik. Kita ambil contoh kasus industri
rokok yang telah menguasai ekonomi bangsa, sehingga
Mitos Industri Rokok Sangat Penting Bagi Negara
menjadi “realita” bagi pemerintah. Bukan hanya realita, bahkan
perkembangan industri rokok menjadi bagian program ekonomi pemerintah
(baca:
Industri Rokok Tumbuh Pesat di Pemerintah SBY-JK). Disisi lain hingga pemerintah SBY ini (data 2008 ), alhasil
korporasi asing di Indonesia menguasai
85,4% konsesi pertambangan migas,
70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia. Inikah pertumbuhan ekonomi yang sangat sehat?
Dan selama mental pemerintah tetap
“terjajah” dalam utang, maka lembaga utang luar negeri dan
kapitalis/pemodal yang menguasai aset-aset strategis akan menerapkan
penjajahan di bidang ekonomi (artinya kebijakan negara akan/sudah tidak independen, disisipin kepentingan pemodal dan asing).
Jika mental utang masih dipupuk oleh pemimpin ini, maka generasi
penerus kita (10-20 tahun ke depan), akan menerima mimpi-mimpi buruk
tersebut. Dan ketika kreditor (asing maupun korporasi)
menguasai utang negara, maka sang kreditor akan memaksa pemerintah
melakukan privatisasi BUMN strategis, mengurangi subsidi bagi
rakyat, membuka jalur distribusi impor bagi masuknya produk-produk
dari negara maju, serta menggenjot ekspor produk-produk bahan
mentah (batubara, gas, minyak bumi, kayu, silika) ke negara lain
ketimbang kebutuhan lokal seperti yang terjadi saat ini……
Akhir kata berhentilah kebijakan-kebijakan utang dan utang lagi.
Dan saya harapkan, ada partai politik yang konsen dengan permasalahan
ini, mengubah stereotife bahwa Indonesia adalah negara utang, serta
merevisi Undang-Undang baik di masa pemerintah Mega maupun SBY yang
merugikan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia. Dan saya harapkan
juga, ada alternatif Capres 2009 yang memiliki visi yang benar dalam
pengelolaan ekonomi (angggaran) yang benar, jangan sampai alternatif
Capres 2009 juga memiliki mental utang seperti pendahulunya. Ingat, ini
adalah tanggung jawab besar bagi para parpol pemenang pemilu dan juga
seluruh elemen bangsa ini.
Updated – 7 April 2009
Menanggapi komentar rekan-rekan sebangsa
dan setanah air, maka saya tambahkan tulisan mengenai apakah benar kita
harus meningkatkan hutang setiap tahunnya? Sampai kapan kita berhenti
berhutang? Apakah benar bahwa negara membutuh belanja yang besar
sehingga anggaran selalu defisit yang disertai utang?
Budaya hutang secara besar-besaran mulai
terjadi sejak November 1967, ketika Bung Karno berhasil dijatuhkan dari
kursi kepresidenan. Kejatuahan Soekarno yang menjadi musuh kapitalis dan
neo-kolonialisme berdampak sangat panjang bagi republik ini. Ketika
Soeharto berhasil menggantikan Soekarno, maka lembaga-lembaga keuangan
dan organisasi kapitalis dunia seperti IMF, World Bank, CGI (IGGI),
London Club, Paris Club, ADB, dan USAID dengan mudah masuk ke Indonesia
dengan mendikte kebijakan-kebijakan agar tunduk serta melaksanakan
agenda-agenda kepentingan mereka (seperti dilaporkan John Pilgers).
Ketika pemerintah Soeharto bersedia menerima utang ala IMF dan CS, maka
pada saat bersamaan tim kabinet Pemerintah Soeharto menemui perwakilan
negara dan perusahaan asing di Swiss untuk mengobral sumber-sumber
kekayaan alam kita dari Gunung Emas dan Tembaga di Papua, Minyak di
seantero nusantara, bauksit, timah, hutan. Berdasarkan penelitian (Alm)
Prof Soemitro (begawan ekonomi), selama Pemerintah Soeharto hutang
meningkat dashyat dengan kebocoran dana hingga 30% dari setiap hutang.
Utang (loan) negara dipelintir dengan
kata aid (bantuan). Tiap tahun anggaran defisit puluhan persen, namun
pemerintah Soeharto mengatakan anggaran berimbang dengan mencantumkan
hutang sebagai sumber pendapatan negara. Dengan hutang jangka panjang,
pemerintah tidak perlu berusaha keras membangun kemandirian bangsa dan
mentriger pembangunan SDM yang memadai untuk menutupi anggaran, toh..
pendapatan ala hutang sudah dikantongin. Sumber kekayaan alam dijual
mentah-mentah, lalu kita terpaksa membeli hasil olahan sumber daya alam
kita dari asing. Begitulah seterusnya. Meskipun IMF, WB, Amrik memberi
hutang, namun pada faktanya mereka sama sekali tidak mengeluarkan uang.
Karena perusahaan-perusahaan mereka mendapat jatah alam di Indonesia
lalu mengolahnya menjadi barang jadi, lalu kita mengimpor barang jadi
tersebut dengan hutang. Inilah porsi terbesar cash flow hutang kita,
yakni kembali lagi ke negara penghutang.
Alhasil, krisis ekonomi melanda Indonesia
pada tahun 1997-1998. Hutang yang telah ditumpuk pada masa pemerintah
Orba kini meledak. Cadangan devisa anjlok, nilai rupiah terjun bebas,
inflasi meroket diatas 50%, terjadilah reformasi. Dan untungnya di masa
Pemerintahan Habibie,
Habibie mampu menstabilkan dan memulihkan secara bertahap keadaan
ekonomi tersebut dalam waktu 512 hari. Namun sejak kejatuhan orba, tiap
tahun negara terpaksa menganggarkan puluhan triliun untuk membayar
hutang era Soeharto. Sehingga berimplikasi pada dana untuk pendidikan,
kesehatan, kesejehteraan masyarakat “disunat”, alhasil kemiskinan dan
pengangguran sulit diatasi. Indonesia yang kaya dengan alam dan
manusianya, akhirnya tetap harus miskin ditengah kekayaannya. Karena
hutang telah menjerat anggaran, karena hutang telah memenjara kebijakan
yang pro-asing, pro-kapitalis.
Bagaimana sekarang?
Anggaran kita naik dari 370 triliun pada
tahun 2004 menjadi lebih 1000 triliun di tahun 2009. Dengan hubungan
kausal, maka peningkatan anggaran yang hampir 3x lebih besar, maka sudah
seharusnya negara mampu meningkatkan kesejahteran masyarakat minimal
1.5 kali lipat. Benar, bahwa negara telah meningkatkan kesejahteraan
rakyat, tapi tunggu dulu….rakyat yang mana? Oke, rakyat yang dimaksud
adalah pengusaha kaya. Pengusaha kaya semakin kaya, bahkan angka-angka
yang ditunjukkan Forbes di tahun 2005 dengan 2008 sangat mengejutkan.
Jumlah kekayaan orang-orang terkaya Indonesia pada tahun 2008 naik tidak
kurang sama dengan pertumbuhan APBN yakni 300% dibanding 2004.
Namun, jumlah penduduk miskin tidak
berkurang dan malah bertambah. Di tahun 2004 saja, jumlah penduduk
miskin mencapai 35.9 juta, namun akhir Desember 2008 mencapai tidak
kurang 40 juta. Bukannya turun, namun naik. Hal ini menambah disparitas
antara miskin-kaya yang semakin besar. Sehingga timbul tanda tanya
besar, apakah pengelolaan anggaran APBN sudah tepat sasaran? Benarkah
anggaran APBN tidak mengalami kebocoran? Benarkah anggaran APBN sudah
efisien?
Selain anggaran ketat, Amerika CS melalui
lembaga keuangannya mendikte 3 kebijakan ekonomi utama lainnya yakni
meliberalisasi keuangan, meliberalisasi industri dan perdagangan, dan
melakukan privatisasi. Maka, bukan hal yang tidak mungkin bahwa
kebijakan anggaran kita masih didikte oleh Amerika CS. Berbagai subsidi
telah dihapus, mulai dari BBM hingga Pendidikan via UU BHP. Lembaga
keuangan sudah sangat liberal. Industri dan perdagangan pun sudah banyak
diliberalisasi. Dan terakhir, berbagai BUMN pun menjadi agenda
privatisasi.
Disamping itu, masih tertanamnya mental
korupsi (meskipun KPK telah berunjuk gigi), dimana berita-berita
penangkapan koruptor masih menghiasai media massa hingga saat ini.
Sehingga laporan KPK pada tahun 2007 yang menyebutkan bahwa salah satu
sumber kerugian keuangan negara terbesar adalah kebocoran APBN. KPK
mencontohkan bahwa pada tahun 2004 saja, kebocoran anggaran APBN
mencapai 30%. Pada tahun 2005, masih banyak mark up anggaran dalam
pengadaan proyek yang tidak masuk akal. Seperti tahun 2004, di tahun
2005 saja untuk pengadaan PC (komputer) dianggarkan 15 juta per unit,
padahal harga pasaran cuman Rp 5 jutaan per unit. Angka mark-up yang
terlalu besar untuk ditenderkan.
Hal senada dilaporkan ICW pada tahun 2006
dan 2007 terjadi kebocoran APBN. Dan jika kita membaca dokumen Audit
BPK, maka sebagian besar Audit kepada instansi anggaran kementrian
dengan hasil disclaimer (tanpa opini). Dan bila kita lihat poin per poin
penelusuran audit, maka terjadi penyimpangan pengunaan anggaran yang
tidak seharusnya dilakukan pihak kementeriaan (lihat di bpk.go.id).
Sumber-sumber penyimpangan dana ditambah mark-up pengadaan proyek yang
terlalu besar serta “uang keringat” pada pengadaan proyek yang telah
dimark up sudah menjadi rahasia umum. Yang tertangkap oleh KPK hanyalah
fenomena gunung es dengan angka korupsi yang besar.
Jika saja, pemerintah dengan tegas dan
berani menganggarkan APBN yang efisien yakni mengurangi mark-up sebesar
5-10%, dan mengurangi kebocoran sebesar 2-5%, maka seharusnya belanja
negara dapat dihemat 7-15% per tahun. (cara pertama : pelajari dari
audit BPK mengapa bisa terjadi kebocoran, lalu kirim “intel-intel” di
setiap departemen, serta melakukan sistem komputerisasi administrasi
layanan publik dan komputerisasi realtime anggaran) Angka
persentase ini untuk anggaran 1000 triliun mencapai 70 hingga 150
triliun. Angka 70 triliun masih jauh lebih besar dibanding angka hutang
luar negeri kita yakni 60 triliun pertahun. Sisa efisien anggaran dapat
digunakan untuk mengurangi utang dalam negeri. Selain itu, untuk
peningkatan pendapatan negara, maka kita dapat mengurangi pencurian
kekayaan laut yang mencapai 40 triliun per tahun (2007) disisi lain kita
memanfaatkan kekayaan laut dengan meningkatkan pendapatan sebesar 40-50
triliun dari laut. Begitu juga jangan mengekspor secara besar-besaran
cadangan batubara kita (menjadi pengekspor terbesar), namun batubara
digunakan untuk menyuplai listrik dengan harga murah bagi industri UKM.
Industri UKM akan bergairah serta secara tidak langsung meningkatkan
perekonomian rakyat kecil. Begitu juga pada berbagai komoditi perkebunan
seperti sawit dan karet. Untuk sawit, jangan jual sawit mentah. Gunakan
anggaran untuk membangun pabrik-pabrik lokal (UKM) untuk mengolah sawit
menjadi CPO dan selanjutnya diolah lebih lanjut untuk meningkatkan
value.
Dan terakhir, harusnya Indonesia dapat
meniru negara-negara yang berani mengambil kebijakan ekonomi yang
independen dan tidak harus jadi perpanjangan tangan kepentingan ekonomi
AS. Contoh saja China yang tetap menolak melakukan liberalisasi di
sektor keuangan. Meskipun saat ini mempunyai cadangan devisa US$ 2
triliun, China lebih memprioritaskan penguatan sektor riil, yakni
industri, pertanian, dan produk-produk ekspor.
Indonesia memiliki potensi untuk
melakukan ini karena sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
besar. Dengan etikad dan inovasi yang baik pemimpin ini, maka kekayaan
alam Indonesia seperti minyak mentah, gas alam (pengekspor terbesar
ke-2), emas, batubara, timah, tembaga, emas, karet, sawit, beras, teh,
kopi, rempah-rempah, dan masih banyak lagi mampu untuk berdirikari.
Ayo…Jepang saja yang miskin dengan kekayaan alam, kok mampu menjadi
pemberi utang yang besar kepada Indonesia selama beberapa dekade (saat
ini menjadi kreditor utang terbesar untuk Indonesia).
Semoga pelajaran sejarah masa orde baru
hingga saat ini dapat membuat bangsa kita bangkit. Dan semoga pemerintah
saat ini dan juga para calon pemimpin masa akan datang baik di
legislatif maupun eksekutif mau berubah dan harus berani serta mandiri
dalam mengambil kebijakan. Harus berani berdirikari dan tidak bergantung
terus pada hutang dan asing. Restrukturisasi anggaran APBN yang efisien
agar tidak bocor. Yakinlah, bahwa alam dan manusia Indonesia mampu!
Kita mampun duduk sejajar dengan bangsa lain. Kita mampu melakukan
kerjasama ekonomi yang terhormat dengan negara manapun tanpa harus
mengikuti desakan bangsa lain untuk meminta kita melakukan privatisasi,
liberilasisi, dan lain-lain. Hentikan skandal-skandal
penguasa-pengusaha. Dan hentikan kebijakan politis yang mementingkan
partai, popularitas, kepentingan asing, dan pengusaha yang menomorduakan
kepentingan rakyat kecil agar mereka tidak miskin lagi.
Kabar dari Media
Saya bersyukur, akhirnya pada tanggal 4 April 2009, salah satu media massa terbesar Indonesia yakni
Media Indonesia memberitakan jumlah utang Indonesia. Judul beritanya adalah
Utang Negara 2004-2009 Melejit Rp 920 Triliun
(silahkan klik link biru) yang disampaikan oleh Koalisi Anti Utang
Indonesia. Informasinya beritanya tidak jauh berbeda dengan postingan
ini.
Dan mulai pertengahan April, Koalisi Anti
Utang juga mengangkat utang 1667 Triliun ke media. Dan sejak akhir Mei
2009, masalah utang ini telah menjadi perhatian publik setelah beberapa
capres mengangkat isu ini. Setidak-tidaknya, salah satu hasrat saya
menulis mengenai fakta utang telah tersalurkan. Sekarang, saya berharap
ada pihak/media yang mengangkat isu baru yakni “utang najis”.
Hm…bisa-bisa justru ada segelintir pemilik media yang merasakan ‘utang
najis’?
Ulasan bagaimana efisiensi dan mekanisme
Utang Luar Negeri dan Globalisasi yang menjerus lingkarn setan utang
oleh jurnalis John Pilger dapat dibaca di :
John Pilgers – Sang Penguasa Dunia Baru di Indonesia.
Dikutip Dari https://nusantaranews.wordpress.com/2009/03/24/fakta-fakta-tersembunyi-sby-jk-3-utang-negara-membengkak-1667-triliun/